Ingin kugenggam garis horizontal diri ingin kugenggam gerakgaris vertikal misteri.
Antara Cirebon dan Demak, yang meriak zikir pantai landai, pasir dan ombak.
Kutak pohon busa palsu, kutak pohon desah laut kehilangan lagu.
Antara Cirebon dan Demak kutimang kesetiaan petani Berebes.
Mempamerkan seni mahirnya mengupasi bawang bertingkat cantik, seni estetiknya menjentik hatiku.
Berebes dan kerling tajam wanita petani itu dalam terendak berwarnawarni menyapaku.
KEMALA Berebes, Pulau Jawa Januari 2001 (ZIARAH TANAH KUDUP 2006:47)
Kudus Sunan Muria kudus bulan langitku kalbuku mengembang sayap.
Burung-burung Kudus melayah ke Kota Kekasih mengukuh diri.
Kicau burung-burung Kudus tasbihnya birahi diri.
Garis gunung berbalam Qutub, sudah berabad pejam.
Layahan burung-burung Kudus kicau rawan mencari kekasih yang hilang.
Kalau mendesau ombak burungku mengembang kepak bawakan jebak Kekasih menghampar jubah Sang Bulan mencumbu madah.
Nur Kudus di subuh Kudus kerling Kudus kalbu Kudus cumbu sahih al-Khaliqi.
Lagu burung-burung Kudus dari langit jauh lagu murni perawan kencana betahkah diri betahkah bulan putih lagu nestapa tersibak luka.
Sembarani hutan menggerinyang indah di mana ya peta benua ada mata maut menyapa.
Kudus kudekap rawan tasbih dan birahi berantaian.
Kemala Kudus, Jawa Januari 2001
(ZIARAH TANAH KUDUP 2006:36-37)
Berapa kelok ombak, berapa gemulung gelombang, berapa busa buih, berapa sayap kasih, betapa ketimbang angin, betapa rangsangan ribut, betapa songsang badai, betapa amuk taufan, memancar cahaya, gementar wajah, geletar mega.
Kalau tak awan, semilang cahaya, kalau tak harapan, simpang pujangga, kalau tak kemudi hari, siurluncur perahu. Di hadapan sinar, cinta yang benar, di muka ingkar, tingkah yang nanar. Kalau tak taqwa, hanya helah yang pingkar.
Tasbih apa dari tarian padi di sawah? Ratib apa dari pucuk pisang di ladang? Siang ilalng, malam Sang Keluang. Ombak lagunya, tingkah lengkingnya. Kalau tak reda, apakah rindu dapat menggagas mutu?
Bagaimana tarian rumpun bambu? Gerisik asyiknya, gemersik buluh perindu akur dengan wujud rohaniah, hanya dengan bisik dalam tergetar kata, tafakur detik bagai pohon pagi mengenal embun jernih. Cumbulah Daku.
KEMALA Januari 2000 (ZIARAH TANAH KUDUP 2006:31-32)
Kuteguk madu estetikmu metafora puitis di alis bulan putih keluhmu hangat abadi
puisipuisi luka di langit terbuka
kuteguk madu estetikmu kekupu–mawar bersatu manatah ghairah itu?
“dalam cumbu yang ungu!”
ada kilau mengilau
“dalam bait menghablur rindu!”
KEMALA Jakarta Juli 2007
D E M A K 1
Empulur darahku Memerciki syahadah Salik Arasy putih menjaring rindu
Demak, Pulau Jawa Januari 2001
D E M A K 1 1
Cinta terbersit Ghairah menyilangi pelangi Qutub dalam usapanmu
Demak, Pulau Jawa 11 Januari 2001
D E M A K 1 1 1
Subuh gerimis Tasbih burung di sangkar emas Menghiris nurani
Kupinjami matamu untuk menatap sisisegi rohaniahku. Menatap puing budi, puing kasih yang tersimpang entah ke mana, menatap zarah kejadian lagi ajaib, kupinjami kedip nafas dan erangakrab yang menjulurkan makna hidup, kupinjami riak dan kecipak sirip bawal putih yang menolak muslihat sedetik, akal jahat manusia, karang berbungkus lumut hijau, krikil tajam yang tersembunyi. Wah, mustika mimpi yang kangen pada Putri Duyung. Dapatkah kau membalut nestapa yang tersangkut pada suara gemetar halus puisi pandak di malam itu hingga kubawa langsung dalam pulas tidur kembara. Kupinjami kehalusan watak, kemesraan janji, kemestian diri, keayuan seloka, maka aku melihat diriku di segenap lapangan dan ruang. Adakah ini Kerajaan Air yang tak pernah kulalui? “Kau menggumam diriku atau maknaku?” “Kau menatap takjub diri atau reda diri?” Maka kupinjami adab yang kucumbu dari tegur pertama, dari sapaan pengelana. “Adakah jalan yang tak terintis?” Maka kau berpergian jua? “Adakah waham di tengah Majlis?” Maka kau kehilangan kasih? Kupinjami suara mersik bagi menafsir Hikayat dan pantun para leluhur. Negeri kita di sekitar danau ini, negeri kita yang takpernah kita pinggirkan walau seliang roma, kupinjami sikap kesayanganmu pada kesenian kata. “Aku terpikat dengan amsal dan kias!” Rindu Danau pada penyair yang pulang ke desanya setelah jauh memapasi langit. Rindu penyair terhadap danaunya selepas danau sekian waktu tergigil sepi. “Aku hamparkan seluruh kedanauanku untukmu! Dan, sudahkah kau kecapi keindahanku?” Inilah cahaya yang datang waktu hampir litup dadaku. Akulah Danau yang menatap Danaumu. Dalam rindu dan tunduk tersipu.
KEMALA Danau Maninjau, Indonesia 2003 (ZIARAH TANAH KUDUP 2006:102)
Dari benua cinta penyair ke tanah bertuah bangsa selepas setengah abad mencecapi makna merdeka
1 Dari Benua Cinta penyair kujelang Tanah Bertuah Bangsa Kuendapkan kelezatan maknawi mencecapi setengah abad
merdeka. Merdeka hakiki, merdeka hayati, merdeka batini, merdeka
kecubung Mimpi berpalang, belenggu keroyokan asing Empat-setengah abad. Kami adalah bulan putih, matahari Bersinar membinari hidup. Kami adalah Kedaulatan pertama. Ilahi merestui dan mematrai Selaksa gurindam, bergugusgugus doa kudus. Dari Benua Cinta Penyair Ke Tanah Bertuah bangsa. Kami membaca Hikayat Delima Derita Dengan liangliang sukma kami Dibantai pelurupeluru bandit. Kami menempeli lembaran yang robek dimakan bubuk Dan anaianai. Merbau dan Kruing, Nibung dan Petaling Kami pikul dari belantara gelap kini tertancap di dadamu Seribu tiang seri Rumah Warisan Monumen Keprihalan pahlawanpahlawan kecil Tak bernama, hilang tak kembali di malam kemerdekaan Yang gerimis. Ada desis mendesis tiba,” Kami hilang tapi Roh kami tetap mengusap tiap jalur, bulanbintang panjipanji Itu tubuh, darah dan kalbu kami. Kami gugur Demi maruah pribumi dan daulah para leluhur!”
II
Selepas setengah abad terdampar, di hadapan kalian kini Limapuluh album lusuh. Tangan mulus srikandi mana Bakal mengelus dan menyeka debudebu musim Menyusun, mengitar, mengawet potret tua pada sudut Album baru yang sahih. Ada yang kelabu, ada yang
tercetaicetai Terperangah dicakar serigala lapar. Ada kebenaran yang Tetindih dan ada sukma wangi dihunjami tangkulak. Aduh, dimanakah Jiwa anggun dahulu, Kekasihku? Aku menerjang ke malammalam sepi yang panjang. Aku menggali wilayah karang tajam di dasar laut dalam Ini pancaroba. Ini kerikil tasbih ditampar taufan. Rindu apakah ini Kekasihku? Qasidah tajalli benangnya Rohani. Nasyid dan Ghazal, Seloka dan Pantun Bersatu dengan dendam berkurun. “Kembalikan Diri Yang terpenjara, dicambuk mungkar Karun Sebelum padam api kemerdekaan anggun! Dari Benua Cinta Penyair, ke Tanah Bertuah Bangsa Selepas mencecapi Makna Merdeka Angin tanah air berkesiur, “Ini kemerdekaan, Ini kunci iman, Rindu Keanggunan, bara hasrat Yang kugenggam dari binar tujuh cakrawala, Bak Cinta kasmaran menembusi tujuh lapis bumi Lalu kucanai Kunci Firasat, Kunci Makrifat Kunci Hakiki, Kunci Kasih Kunci Rohani!
KEMALA Kuala Lumpur, 10 Mac 2007 ( DEWAN BUDAYA Mei 2007 )
(untuk ken dan rendra)
Antara romantisme gunung dan hiruk pikuk trafikmu puisi dilontar dan dihantar ke podium di melenium inipun rahwana menggerogoti sinta dan rama meruap api cemburunya
Tembang demi tembang penyair ingin keluar dari sarung leluhurnya, menjeritkan ‘kami bukan si malin kundang’ menolak ragu dan sesal kami adalah syurga dan neraka sekaligus tepuk dan bujuk asyik yang bermata sepuluh
Kutatap lembah suburbia singgah singkat di galeri salasar dan popo garis, pecahan kaca atau wanita telanjang warna abstraksi dan galauan dan siratan magisme, kecapi ottih “negeri abadi” dan tatapan para leluhur menenggang duka patah kendali. bandung yang sesak hijau, hijau alpokat, jeruk dan salak angkot ribut mendesakdesak sayup sampai, pluit kereta api singgah dari jakarta atau yang tadi dari surabaya, mata yang layu, tangan yang jenuh kelapa muda dan farid maulana meramu jeans levis strauss buku puisi, mukena dan jerembab kembang mimpi sulit datang, meremang liar, souveniers puisi dan penyair, metafora magistik bergantungan di langit.
Selamat malam bandung azan dari masjid firdaus serap seni, daif diri, bangkrut budaya huyung-hayang bulan tak bersari jeriji maut dan angin bangkit abad tanah yang dilelang, seringai paman doblang di kuburnya, petani gaduh merana dan lusuh para dewa menggewangi ladang rampokannya.
Dari titik ke titik dapatkah puisi merambah duka maha insani antara tidak apa-apa, nol dari fungsi suara menopang telatah. desis dan bisik ‘tidak apa-apa’ kita adalah kekosongan dan kekosongan itu kita! heran, kata-kata hilang magisme dia masih terus menulis dan sedia untuk tidak apa-apa walhal seni memertabat insani bulan putih, violet yang diturunkan tuhan dari syurga kekuasaanNya selamat malam bandung kota kembang tak jemu-jemu bersenandung.
KEMALA Bandung-Jakarta April 2002 (Ziarah Tanah Kudup 2006:82-83)
Laut tak berombak Ombak tak beriak Camar tak melayang Mata tak berkedip Dada tak berdebar Daun tak gugur Dada tak terdepang Lembar puisi tak terselak Salam tak bersambut Getaran tak menggelombang Kasih tak berkocak Janji tak tertunai Helah tak tergambar Muslihat tak terpeta Kitab puisi tergeletak Penyair patah kalam Kata tak kenal pilih Antah dalam beras Padi terkulai lemas Aruan tak menghambur Ular berlingkar di lubuk Undan kematian angin Jejak lama tak padam-padam Dalam rupa di mana dupa Geruh apa dalam guruh Sukma sebuah bertatah cinta Rumah pertama takmenemu Ombak tak berombak Riak tak beriak Gairah padam Meluluh waham.
Kemala 2006-2007